Miracle Alignertitle is taken from the last shadow puppets:
.
.
.
.
***
Biasanya, sesampai ia pulang di apartemen, Mydei tengah bersantai duluan di perpustakaannya (sebuah ruangan kecil tersekat di antara dapur dan kamar mereka, Phainon merawat baik laboratorium itu dengan setangkai dua tangai bunga yang selalu berganti), mengerjakan penelitian, atau dalam perjalanan pulang dari gym. Tapi dapur kecil mereka tidak pernah absen dari makan malam, itu adalah dedikasi dari Mydei yang sangat teguh---"Gua ga akan pernah ngebiarin lu lapar lagi." dan itu terbukti dari bekal makan, masak malam, sarapan, hingga Mydei yang menyerahkan diri untuk diterkam Phainon. Begitulah dedikasi dari seorang Mydeimos. Totalitas tanpa batas.
Namun Phainon tidak siap ketika membuka pintu dan ditarik Mydei sehingga dia terduduk di sofa dan Mydei menduduki tubuhnya. Yang dia pikirkan sebagai kompensasi diperbudak jadi asdos hanyalah mandi kilat air hangat, disuapin bubur ayam oleh Mydei ayang, dan bobok lelap sampai minggu depan. Jadi, Mydei yang menatapnya dengan tatapan puzzle begini otak kanannya: ayo, ayo cium sampai Mydei kelabakan, dan otak kirinya: sekali saja kamu waras bisa tidak. Tebak hari ini otak mana yang menang. "Dei"
"We need to talk."
"With this very position, my Lord"
"Biar lu ga kabur." Mydeimos memang mengunci pergerakan Phainon yang tampaknya tidak punya daya apalagi keinginan untuk lepas juga. Samoyed jejadian ini mana mungkin minggat dari kesempatan disayang-sayang majikannya. Matanya pun mulai sayu dan nafasnya menderu begitu Mydei bergerak perlahan, menggesek-gesek bagian bawah mereka hanya untuk membuat Phainon mengerang dan menggeliat... Kasihan sih di-edging dan di-blueballing menyaksikan celana Phainon terus mengetat dan mau sobek itu karena penisnya dipaksa diam padahal siap mengoyak-ngoyak Mydei dengan brutal. Sesekali hukuman itu diperlukan supaya Phainon sadar kalau bukan dia saja yang bisa jahil. "Lu kebiasaan kadang malah ledekin gua kalau gua serius."
"Ih kapan ya gue ledekin, oke oke gue dengerin, kenapa, Sayang Tumben enggak lagi ngerjain sesuatu Nggak lagi di perpustakaan Kangen, ya"
Mydei menjawab dalam hati, iya, betul, ini gua lagi di perpustakaan khusus. Iya, Mydei pun merayu Phainon dengan sebuah ciuman yang dikendalikan nafsu, sampai Phainon terengah, dan Mydei nyengir nakal. Dia juga di perpustakaan, sedang sibuk mengurus urusan penting. Perpustakaan itu tidak berwujud sebuah ruangan berisi buku.
Tapi perpustakaan itu termanifestasi di setiap jengkal tubuh kekasihnya. Di leher Phainon terjejak bekas gigitan Mydei dan tempat paling banyak dihujani kecup. Di lengan Phainon membekas genggaman Mydei ketika ragu dan bantal saat beristirahat. Di kedua bahu Phainon merekam bagaimana Mydei bertumpu, bersandar, menggigit, dan menggeram. Di dagu yang menjadi objek Mydei mengasah giginya, di bibir Phainon tempat Mydei menumpahkan perasaannya, di mulut Phainon tempat Mydei meneriakkan nafsunya-----
"Eh, eh, wait, Dei." Raupan Mydei semakin tak terarah, rahang bawahnya menangkap dagu sebelum mengulum bibir Phainon yang kemudian disusul desah campur geraman Phainon. "Gue belum mandi--aaaa gue keringetan" Phainon teringat badannya ditempeli asap knalpot, dan polusi, walau matanya semakin berat karena hawa testosteron apalagi gerakan pinggul Mydei yang lezat---
"Then what's the difference with us having sex as usual." Aneh sekali tingkah dari lelaki yang pernah bersimbah nafsu melahapnya di parkiran mobil mall dan nyaris juga menggegerkan kampus dengan tindak asusila di toilet dosen. Tubuh Mydei sudah duduk manja di atas lekuk abs Phainon, tinggal lepas santapan utamanya dari gesper dan celana semi-wool ini. "Kan lu juga keringetan Kenapa sekarang malu"
Phainon mengerjap, sedikit memalingkan muka, menyadari kondisi tubuhnya saat ini: kemeja yang melekat di kulit karena keringat, rambut lepek acak-acakan mana lumayan gondrong tak sempat cukuran (tapi cinta itu membutakan, Mydei mengira ini efek gel rambut ala Alex Turner), belum lagi parfum yang sudah menguap ditelan perjalanan, sisa-sisanya hanya bisa dikenali jika Mydei benar-benar menciumnya (dan itu sedang dilakukan), "Gue bau matahari, debu, dekil," Mydei bahkan telah sampai di leher Phainon hanya untuk menjilat dengan serius dan khidmat jakun Phainon yang bergerak naik turun dengan lambat, mencegah luapan gairah yang sebentar lagi meledak dan muntah.... "Terus lu... Wangi banget jir. Gimana gue nggak ngerasa giving you the same treatment and effort.... Aaaa mandi dulu deh"
Walau memang bercinta adalah kegiatan rutin mereka, tapi Phainon selalu melakukannya seakan itu adalah sebuah ritual yang disiapkan dengan hati-hati, dengan segala persembahan spesial, yang tidak akan pernah terulang dan tidak ada hari yang sama dan tidak ada hari yang terlupakan. Mydei mengecup lagi jakun itu, cukup puas dengan harum samar feromon yang menguap dari tubuh Phainon begitu membuai. "Ga usah. I can take you right here and now."
"Ini mau ngomong dulu atau mau dihamilin dulu"
"Yang terakhir."
"Nggak deh. Jelasin dulu yang pertama." Dasar Mydei. Dia kira masalah bagusnya dibicarakan setelah bertukar saliva dan sperma Phainon padahal adalah mahasiswa kebanggaan Prof. Anaxa di kelas moral dan etika. "Baru kita yang terakhir, oke"
Phainon memang punya tenaga yang sebetulnya setara Mydei, jadi dia coba menenangkan Mydei dengan gestur yang lebih ramah. Memeluknya, menekan titik ke sepuluh tulang punggung Mydei, mengelus pipinya, merapikan rambut Mydei supaya tersimpan rapi di belakang daun telinga.
"Lagian apa deh tiba-tiba... Mau bicara apa sampai sebegininya" bujuk Phainon lembut, mencoba bernegosiasi dengan rayuan yang lebih manis. Bohlam lampu di kepalanya berdenting. Mydei punya beberapa tingkah yang membuatnya terlalu mirip dengan kucing maine coon, tentu diarsip Phainon dengan rapi. Contoh #33 jika Mydei merasa bersalah... Dialah sang enabler sejuta kink dan fetish Phainon, ini Mydei sepertinya sudah mempersiapkan diri duluan sebelum diminta. "Oooh kayaknya ada yang kepikiran soal chat barusan ya..."
"Yea." Hela napasnya menegaskan beban berat itu telah lama menghantui. Segalanya terasa timpang dengan timbangan yang nyaris terjatuh di sisi Phainon, sementara timbangan Mydei ringan dan tak menaruh apapun di situ. Mungkin dia belum sepenuhnya berpindah dari zona nyaman berlabel pertemanan pada zona yang lebih asing lagi, lebih serius lagi dengan titel berpacaran. Dia terbiasa blak-blakan sebagai teman, yang anehnya, dia lebih berpikir dua kali sekarang sebagai pacar. "Sebenernya gua mikirin itu tiap hari. Gua bukan ngerasa gengsi atau apa. Gua cuma---"
"It's okay. Gue mengerti, dan gue juga gak memaksakan. As long I know you love me, gue paham kok. Gue pun kan bisa lihat dari sikap lu tiap hari, Dei. Kita juga udah kenal bertahun-tahun, gue ga pernah ragu atau bertanya-tanya juga soal itu."
Hubungan mereka berfermentasi selayaknya anggur bordeaux. Dari pertemanan yang tidak mengenal batasan, siku yang saling bersinggungan, tatapan mata yang saling bersentuhan, hingga jari-jemari yang saling bertautan dan lalu datanglah keberanian yang tak terkira dari Phainon untuk meresmikan hubungan ini dengan sebuah cincin dan janji yang nyaris menjelma sebagai ikrar pernikahan---Mydei yang membelanya, Mydei yang menawarinya tempat beristirahat, Mydei yang merawatnya saat sakit, Mydei yang mengajarinya untuk berkata tidak, Mydei yang mengenalkannya pada segalanya, apa lagi yang Phainon perlukan
"Don't." Ada jentikan nyeri di dadanya. Mydei mengernyit, teringat betapa dia selama ini banyak menahan diri karena berpikir Phainon mungkin, mungkin layak untuk mendapatkan orang yang lebih vokal darinya, lebih terbuka dan terang-terangan, tetapi Mydei sudah tumbuh menjadi lebih egois. Dia menginginkan Phainon untuk dirinya sendiri, dan tidak ada orang lain yang boleh memiliki Phainon selain dirinya sendiri. "Gua jadi sedih lu berpikir seperti itu. Cukup ngertiin guanya, Phai. You have the right to demand something from me too. Jangan lu terus yang ngasih. Gua pun ingin ngasih sesuatu ke lu."
"Tapi... Kamu setiap hari udah cinta sama saya, Dei. Apa yang kurang Itu sudah lebih dari cukup."
"I hate this version of you." Pecah sudah gelembung keraguan. "You make me weak." Gelembung ketakutan. "And vulnerable." Tersisa Mydei seorang. Dengan hatinya dan Phainon tahu hanya ada dia di mata Mydei. Wow. Fantastis dan istimewa menjadi pemilik tunggal hati seorang Mydeimos. "No defense."
"Phai. I really do love you." Sebuah pernyataan absolut. Tidak terbantahkan seperti bulan dan matahari yang berpendar pada orbitnya, demikian pula hukum inertia berlaku untuk jenis cinta dan sayang yang dimiliki mereka. Phainon tersenyum, he is the man of his words, sesuai janji, dia lalu merengkuh Mydei berniat memulai kembali ciuman yang sempat tertunda, dan Mydei sedikit tertawa karena akhirnya dia merasa benar-benar bebas dan lega. Di hadapan Phainon saja, dia bisa menjadi dirinya yang sederhana. "I mean it. I really do."